Gumitir Gudang

Antrean di salah satu SPBU di Jember. -Berita Satu---
Covid-19 datang lagi? Tidak. Tapi Bupati Jember Muhammad Fawait, mengeluarkan surat edaran mirip zaman Covid. Isinya: agar semua instansi melakukan WFH --tidak perlu masuk kantor. Kerja dari rumah saja. Pun para guru. Sekolah tidak diliburkan tapi semua murid diminta belajar online. Guru tidak usah datang ke sekolah.
Musibah besar sedang melanda Jatim bagian timur. Wilayah ini menjalani semacam lock down. Bensin langka di Jember dan Bondowoso. Kalau pun ada, harganya selangit. Bisa Rp 35.000 per liter. Bupati Jember pilih mengurangi mobilitas penduduknya.
Dua musibah itu datang hampir bersamaan. Dua-duanya dibuat manusia. Keputusan perbaikan jalan antara Jember Banyuwangi dibuat bersamaan dengan keputusan dilarangnya sebagian besar Kapal ferry menyeberangi Selat Bali.
Perbaikan jalan antara Jember Banyuwangi memang sudah mendesak. Kawasan Gunung Gumitir sudah longsor. Kalau dibiarkan jalan itu bisa putus total.
Di saat yang hampir bersamaan terjadi kecelakaan kapal ferry di Selat Bali. Tenggelam. Membawa banyak korban. Pemerintah pun ambil tindakan tegas: melarang kapal yang tidak layak layar. Jumlah kapal turun drastis. Jumlah yang masih boleh berlayar tidak mencukupi kebutuhan. Hanya 4 kapal yang boleh melayani penyeberangan. Apalagi yang masih layak layar pun diminta hanya berisi 80 persen dari kapasitas.
Anda sudah tahu: betapa panjang antrean menyeberang ke Bali. Dan sebaliknya. Saking panjangnya antrian kendaraan itu mungkin sampai terlihat dari bulan.
Bupati Banyuwangi kewalahan menerima kemarahan publik. Pun gubernur Jatim. Tapi urusan kapal bukanlah wewenang dua wanita kepala daerah itu. Soal ini sepenuhnya wewenang pusat. Keduanya hanya bisa minta agar pusat segera menambah kapal yang masih laik jalan. Tentu tidak bisa cepat. Harus dikirim dari kawasan lain Indonesia. Itu pun kalau yang ada juga masih laik layar.
Bupati Jember pilih melakukan apa yang bisa ia lakukan: instruksi WFH. Sekalian agar pusat tahu begitu seriusnya persoalan di Selat Bali dan di Gunung Gumitir.
Di perbatasan Jember Banyuwangi memang ada gunung. Gunung Mrawan. Disebut juga Gunung Gumitir. Jalan raya dari Jember ke Banyuwangi harus melewati gunung ini. Jalannya naik turun berliku. Di tebing. Di jurang. Tidak terlalu jauh. Hanya delapan kilometer.
Anda yang biasa lewat di sini hafal: harus hati-hati. Di tikungan-tikungannya memang selalu ada awe-awe tapi tetap harus hati-hati. Awe-awe adalah orang yang melambai-lambaikan tangan memberi kode kepada para sopir. Agar kendaraan mereka sedikit ke kiri atau sedikit ke kanan. Lalu terjadilah salam tempel sebagai ongkos jasa awe-awe.
Saya yang saat ini sedang di Beijing tersenyum-senyum getir. Alangkah mudahnya pagi Tiongkok menyelesaikan problem seperti ini: bikin terowongan. Hanya delapan kilometer. Mungkin hanya perlu terowongan sejauh lima kilometer.
Maka saya angkat topi kepada wali kota Samarinda. Setingkat wali kota bisa punya proyek terowongan bawah gunung. Yakni terowongan Selili. Tidak sevital terowongan Gunung Gumitir tapi sebentar lagi jadi. Itulah terowongan pertama di Indonesia yang dibuat Pemda.
Bayangkan, dua kabupaten besar di provinsi besar seperti Jatim bisa mengalami kejadian seperti ini. Problem ini sudah ada sejak begitu lama. Belanda sudah membuat terowongan di lokasi yang sama. Terowongan Mrawan. Untuk jalur kereta api. Republik belum pernah mengikuti jejak itu untuk arus lalu-lintas yang begitu vital.
Upaya yang dilakukan di Gunung Gumitir saat ini hanya memperbaiki jalur yang terancam longsor. Lalu sedikit melebarkannya. Tidak mudah. Ada Batu Gudang di jalur itu. Yakni batu besar yang saking besarnya diberi nama Batu Gudang.