Penasihat Komisaris

Foto : FB - Dahlan Iskan--
Saya pun ragu dengan usulan saya soal pengangkatan wamen jadi penasihat tadi. Jangan-jangan juga tidak boleh. Maka saya hubungi dua mantan ketua Mahkamah Konstitusi: Prof Dr Jimly Assiddique dan Prof Dr Moh. Mahfud MD.
Pertanyaan yang saya ajukan sama. Apakah "penasihat" itu jabatan. Yang dilarang itu menerima jabatannya atau menerima gajinya. Apakah boleh jadi komisaris tapi tidak menerima gaji.
"Wamen menjadi penasihat BUMN menurut saya boleh. Asal tidak mendapat honorarium tetap," ujar Prof Mahfud. "Honorariumnya tergantung pada kehadiran saat rapat," tambahnya.
Menurut Prof Mahfud, penasihat itu bukan jabatan struktural ketatapemerintahan. "Tetapi akan menjadi persoalan jika penasihat itu distrukturkan di BUMN," katanya. "Yang sekarang nyata-nyata dilarang adalah wamen menjadi komisaris BUMN," katanya.
Prof Jimly juga memberikan jawaban. Saya kutip lengkap saja sebagai berikut: "Menteri-wamen, gubernur-wagub, bupati-wabup adalah satu institusi jabatan negara. Komisaris organ resmi di PT atau BUMN. Menurut UU masing-masing tidak boleh dirangkap. Bukan saja soal gaji rangkap dan double counting tapi juga soal benturan kepentingan. Makanya dilarang. Bahkan, kepala daerah menurut UU Yayasan juga tidak boleh jadi pengurus, pengawas atau pun pembina. Agar tidak terjadi benturan kepentingan.
Penasihat presiden diatur dalam UU Wantimpres tidak boleh dirangkap sebagai pengurus parpol dengan maksud yang sama.
Mestinya jabatan di perusahaan juga tidak boleh tapi sering dilanggar. Kalau penasihat perusahaan tentu bukan jabatan tapi tetap terkait dengan benturan kepentingan. Misalnya menteri BUMN tapi menjabat juga sebagai penasihat di perusahaan swasta yang bermitra dengan BUMN. Pasti ada benturan kepentingan yang harus dilarang.
Berarti saya harus membatalkan usulan agar wamen diangkat sebagai penasihat di perusahaan-perusahaan BUMN.(Dahlan Iskan)