Notre-Dame

Catatan dahlan Iskan--
Pernah berturut-turut ranking satu dunia. Sesekali tergeser Harvard tapi naik lagi ke nomor satu.
Di program yang ia pimpin tidak membahas Katolik. Ini universitas Katolik. Khusus untuk Katolik sudah ada jurusan tersendiri. Bahkan ada seminarinya.
Mahasiswa jurusan non agama di Notre-Dame wajib ambil mata kuliah kekatolikan di semester awal. Ini mirip sekolah-sekolah Muhammadiyah di NTT. Siswa Katolik pun harus ikut pelajaran dasar kemuhammadiyahan.
"Suasana belajar dan mengajar di sini mirip sekali dengan di pesantren," katanya. Itulah rupanya yang membuat ia kerasan. Dari belajar di pesantren di Prenduan, Sumenep, ke mengajar di Notre-Dame, Indiana, Amerika.
Salah satu mata kuliah di programnya adalah ilmu Alquran. Tanpa Iman. Artinya Alquran di sini dipelajari sebagai ilmu seperti ilmu pada umumnya.
Mahasiswa tentu sering mempersoalkan is Alquran, 'apa buktinya'. Pertanyaan seperti itu tidak hanya diajukan untuk kajian Alquran tapi juga kitab-kitab suci lainnya.
Sudah banyak buku karya ulama muda asal Sumenep, Madura, ini. Buku barunya yang segera terbit adalah kamus Alquran. Penyusunnya tiga orang profesor --yang dua ahli Alquran bukan Muslim. Keduanya berbahasa Arab dengan sangat baik.
Penyusunan kamus ini juga tidak diwarnai rasa Iman. Ini kamus ilmiah bagi yang ingin studi Alquran. Maka mereka bertiga sepakat dulu: kamus itu tidak diwarnai opini atau perasaan masing-masing.
"Ini kamus Alquran menurut Alquran sendiri," ujar Prof Mun'im.
Misalnya di Alquran disebut kata Yasrib. Itu, menurut Alquran apa artinya. Mereka sepakat Yasrib adalah nama kota yang sekarang disebut Madinah. Kamus itu disusun untuk memudahkan para peneliti Alquran di universitas.
Saya lantas bercerita: dulu ada anak jenius dari Surabaya kuliah di Notre-Dame. Namanyi: Audry.
"Saya tidak tahu dia ambil jurusan apa," kata saya.
"Tionghoa? Berkaca mata tebal?"
"Iya. Benar sekali".
"Dia mahasiswi saya di jurusan teologi," ujar Prof Mun'im. "Sudah lama tamat," tambahnya.