Bambu Lentur

Foto: Nett - Donald Trump dan MBS--

Saya sulit membayangkan jalannya pertemuan para tokoh persimpangan di istana di Riyadh itu. Mungkin penuh nostalgia. Ahmad Sharaa sendiri lahir di Riyadh. Yakni ketika ayahnya, orang asli dataran tinggi Gholan, bekerja sebagai engineer di perusahaan minyak di Riyadh. Ibunya juga bekerja di Riyadh: jadi guru geografi.

 

Sepulang dari Riyadh, keluarga ini tinggal di ibu kota Syria, Damakus. Mereka membuka toko. Si kecil Ahmad Sharaa membantu jadi penjaga toko, termasuk ikut melayani pembeli.

 

Ketika Ahmad Sharaa tumbuh jadi remaja terjadilah gerakan intifada kedua di Palestina. Hatinya tergerak untuk ikut berjuang melawan penindasan. Ia menghilang dari rumah.

 

Tahun 2003, di umur 21 tahun, ia berada di Iraq. Ia ikut Al-Qaeda. Tiga minggu kemudian Amerika menyerang Iraq. Kekuasaan Saddam Hussein runtuh. Ahmad Sharaa terus berjuang bersama musuh Amerika.

 

Tiga tahun melawan Amerika, Ahmad Sharaa tertangkap. Yakni saat ia sedang memasang bahan peledak. Lima tahun lamanya ia berpindah-pindah penjara. Kegiatannya di penjara sangat positif: mengajar. Ia mengajari sesama penghuni penjara pelajaran sastra Arab.

 

Dengan kronologi seperti itu rasanya tidak mungkin ia jadi tokoh penting Al-Qaeda di Iraq. Ia lebih banyak di penjara daripada di lapangan.

 

Mungkin Ahmad Sharaa bisa bercerita kepada Trump bagaimana ia bisa dilepaskan dari tahanan Amerika. Saat itu di Syria sedang menguat perlawanan untuk menggulingkan diktator Bashar al-Assad. Keluar dari penjara, Ahmad Sharaa langsung pulang ke Syria. Ia bergabung ke gerakan perlawanan itu.

 

Di gerakan itu ia berhasil menyatukan berbagai kekuatan. Sampai ketika berhasil menggulingkan Al Assad, dipilihlah Ahmad Sharaa sebagai kepala negara.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan