Remaja dari segala ras dunia ada di kompetisi itu: putih, hitam, kuning, coklat, agak hitam, agak kuning, agak coklat...
Tahun lalu si Ndet sudah ikut kompetisi di sini. Dia berhasil meraih medali emas. Beberapa bulan lalu dia juga meraih empat medali emas di lomba debat serupa tingkat Asia di Korea Selatan.
"Tapi nilai akademik saya payah...," gurau si Ndet kepada kakeknyi.
Orang tua dari negara mana pun terlihat sama. Membiarkan anak cucu mereka independen. Bergaul sesama remaja. Tidak ada anak di situ yang terlihat terus menggelayut di tangan ibu bapaknya.
Kami pun, para orang tua, ngrumpi sendiri. Termasuk ayah dan ibunya si Ndet yang saya pasti mengenalnya.
Dari ngrumpi itulah saya baru tahu bagaimana si wanita Congo pintar berbahasa Mandarin. Lebih lancar dari saya. Juga dibanding umumnya ibu-ibu Tionghoa Indonesia yang ikut ngrumpi di situ.
Nama wanita Congo itu: Jennifer Masika. Meski lahir di Kinsasa, Congo, kuliahnya di Guangzhou. Jurusan computer science.
Di Guangzhou pula dia bertemu mahasiswa asal Tanzania. Muslim. Mereka kawin. Tanpa saling ganggu keyakinan. "Putri saya itu muslim," katanyi sambil menunjuk Adeline.
Waktu remaja, setamat SMP di Congo, Jennifer dibawa ayahnyi ke Jakarta. Sang ayah pengusaha. Pedagang. Di Jakarta sang ayah kulakan batik. Dijual di Afrika.
"Orang Afrika suka batik," kata Jennifer.
Jennifer dan suami juga sering tinggal di Indonesia. "Suami saya itu seperti tinggal di tiga negara: Tanzania, Indonesia, dan Tiongkok. Jennifer melahirkan Adeline di Jakarta.
Adeline dan Ally sebenarnya ingin punya grup debat sendiri. Sesama remaja Jakarta. Tapi salah satu anggotanya tidak bisa berangkat. Mereka harus cari satu anggota baru.
Di lain pihak si Ndet juga ingin mengulangi sukses tahun lalu. Tapi dua anggotanya, Janette Eve Stefanus (Surabaya) dan Wesley Huang (Kanada) tidak bisa berangkat. Ndet harus cari dua pengganti.
Tumbu ketemu tutup. Mereka bertiga bergabung menjadi satu tim baru. Janjian bertemu di lokasi kompetisi. Remaja bisa cari jalannya sendiri.
Apakah ayah Jennifer masih sering ke Jakarta?
"Ayah saya kini menetap di Congo. Urus kebun kopi," katanyi. Itu karena kakeknyi sudah tua. Umurnya sudah 96 tahun. Masih sehat. Hanya saja harus ada penerus yang urus kebun kopinya.