"Berarti Anda harus juga menulis novel seperti ini untuk Amerika," kata saya. John dan Chris tertawa. Baguslah. Sudah bisa tertawa.
"Baiknya Anda segera move on," kata saya lagi.
Keesokan harinya si dokter melihat saya sedang move on: senam-dansa. Sendirian. Di lantai bawah. Di dalam ruangan. Saya tidak berani senam outdoor di teras atas atau di halaman. Dingin sekali.
"Ikut saya," katanya.
"Ke mana?"
"Jalan kaki. Lima kilometer. Saya tiap hari jalan kaki sejauh itu."
Saya pun ambil jaket Persebaya model baru. Lebih tebal. Cocok untuk cuaca musim gugur.
"Jalan ke mana?"
"Saya tahu rutenya. Sudah biasa. Saya bisa tunjukkan bagian-bagian menarik di sekitar perumahan ini."
Di usia 85 tahun langkah si dokter masih panjang. Cepat. Saya harus mengayunkan kaki lebih banyak.
Selama ini saya tidak memasukkan jalan kaki sebagai olahraga. Tapi kalau langkahnya seperti ini pasti sudah bisa membuat jantung berdetak 115 kali. Sudah memenuhi syarat olahraga.
Begitu indah perumahan ini. Banyak yang halamannya begitu luas, berumput hijau yang terawat, dengan pepohonan tua yang seperti di lukisan --bukankah sebenarnya lukisanlah yang seperti pemandangan ini.
Salah satu rumah di situ punya halaman lebih luas: punya lapangan golf pribadi. Masih ada lapangan tennis pribadi. Lapangan basket pribadi. Pemiliknya ternyata memang seorang pemain golf profesional --di luar 10 besar Amerika.
Si dokter juga pemain golf. Ia agak lama berhenti memandang ke lapangan golf itu. Saya sebenarnya keberatan irama jalan kaki ini terganggu lapangan golf. Tapi saya harus menyenangkannya.
Saya harus mulai menggali soal kekecewaannya pada profesi dokter. Toh sudah lebih 40 menit jantung berdetak 115 kali tanpa jeda. Sudah memenuhi syarat kedua sebuah olahraga.
Di sisa perjalanan setelah golf ini saya harus mulai menggali pedalamannya. Berhasil. Ternyata ia berhenti sebagai dokter setelah sekelompok dokter yang lebih muda masuk ke lingkungan kerjanya. Mereka membawa sistem kerja baru: agar bisa mendapatkan uang lebih banyak.