KALAU saja Anies jadi dicalonkan oleh PDI-Perjuangan untuk jabatan gubernur Jakarta, saya melihatnya dari dua sisi. Baik dan buruk.
Sisi baiknya: PDI-Perjuangan menunjukkan sikap kebangsaan yang luar biasa. Anies yang di masa lalu dicitrakan sebagai lambang ''kanan'' dirangkul oleh partai yang dicitrakan sebagai ''kiri''.
Itu tidak hanya baik. Itu luar biasa baik. Bagi bangsa. Bagi pendidikan kebangsaan. Yang kanan bisa bergeser ke kiri. Yang kiri mau bergeser ke kanan.
Terbentuklah kekuatan kanan dalam dan kiri dalam.
Bahkan, kalau bisa, mereka bergeser ke tengah. Alangkah hebatnya bangsa ini.
Terlalu hebat. Tidak baik. Jangan juga berharap terlalu hebat seperti itu. Tidak harus semua pihak di tengah persis. Bisa di kiri dalam dan di kanan dalam pun sudah sangat bagus.
BACA JUGA:Sutradara Agung
Dan itu bagi PDI-Perjuangan bukan hal baru. Abdullah Azwar Anas adalah kader NU murni. Sebelum lahir pun ia sudah NU. Ketika bayi ia jadi bayi NU. Anak NU. Pelajar NU. Pemuda Ansor NU. Politikus NU.
Berkat prestasinya Azwar Anas direkrut oleh PDI-Perjuangan. Ia dicalonkan jadi bupati Banyuwangi. Berhasil. Terpilih. Berhasil.
Mampu membangun Banyuwangi –bahkan setengah menyulapnya– dengan istimewa. Jadilah Banyuwangi model pembangunan kabupaten ideal di Indonesia.
Anas terus setia pada partai Banteng. Ia dicalonkan kembali untuk periode kedua. Terpilih lagi.
Selanjutnya Anda sudah tahu: nama Banyuwangi begitu harum. Pun istrinya ikut mendapat nama besar Anas: terpilih sebagai bupati Banyuwangi berikutnya.
PDI-Perjuangan masih ingin menjadikan Anas calon wakil gubernur Jatim. Sial. Ada jejak digital soal dada dan paha. Ia ejakulasi sebelum waktunya klimaks.
BACA JUGA:Sembahyang Rebutan
Anas adalah contoh ideal orang kanan yang bergeser ke kiri. Ia mau. Ia mampu. Tentu sebagai orang kanan ia tidak mungkin bergeser terlalu ke kiri. Jadilah ia orang tengah.