SYL tidak menyangka jaksa menuntutnya 12 tahun penjara. Juga harus membayar ganti rugi Rp 40 miliar. Ditambah USD 30.000.
Mantan menteri pertanian itu juga merasa marwahnya tercampakkan. Marwah, bagi tokoh Bugis lebih penting daripada harta. Reputasinya hancur. Pun nama keluarganya. Orang tua. Istri. Anak.
"Beliau mengira tuntutan jaksa tidak akan lebih dari empat atau enam tahun," ujar Djamaluddin Koedoeboen, pengacara SYL.
Djamaluddin orang Tual, Maluku Tenggara. Lahir di sana. Sampai SMA. Lalu kuliah hukum di Universitas Hasanuddin, Makassar. Kini Djamaluddin lagi menyelesaikan S-3 di Jakarta.
Tuntutan yang tinggi itu juga dirasa oleh SYL bahwa ia sudah menjadi orang yang ditinggalkan. Ia merasa harus berjuang sendiri. Ketika merasa marwahnya hancur itulah maka ia merasa tidak ada gunanya lagi masuk penjara sendirian.
Usai sidang tuntutan Jumat lalu mulailah terungkap: ke mana uang kementerian pertanian mengalir. Ia menyebut nama tokoh partainya. Ia menyebut proyek di Pulau Seribu milik ketua partai.
BACA JUGA:Humor Gagap
Djamaluddin mengenal SYL sejak masih menjadi aktivis HMI di Unhas. SYL adalah ketua ikatan alumni Unhas. Tapi baru sekarang ini Djamaluddin menjadi pengacara SYL.
"Anda yang menawarkan diri atau SYL yang mencari Anda?"
"Beliau yang mencari saya," jawab Djamaluddin.
Koedoeboen, nama belakang Djamaluddin, menandakan bahwa ia golongan ningrat di Tual. Ia pernah jadi ketua DPRD kota Tual. Ia ketua banyak organisasi di sana. Kakeknya juga ketua DPRD Maluku Tenggara. Saat ini yang jadi ketua DPRD adalah adiknya. Sedang pamannya, Herman Koedoeboen pernah jadi bupati Maluku Tenggara dan Kajati Gorontalo.
Djamaluddin pernah kerja di perusahaan ikan milik Tomy Winata di Tual. Lalu jadi politisi. Akhirnya menjadi pengacara di Jakarta. Istrinya orang Sulsel. Kini Djamaluddin punya enam anak --tiga di antaranya jadi dokter.
Tadi malam, sambil menghadiri ulang tahun Persebaya di stadion Gelora Bung Tomo saya menghubungi Djamaluddin. Ia menggambarkan suasana kebatinan SYL yang kecewa, marah, dan gundah.
SYL adalah tokoh besar di Sulawesi Selatan. Merangkaknya dari bawah: kepala desa. Lalu jadi camat. Naik ke bupati. Di Gowa. Dua periode. Naik lagi jadi wakil gubernur Sulsel. Lalu gubernur dua periode.
Jabatannya naik terus. Menanjak. Lancar. Sampai pun akhirnya menjadi menteri. Ia selalu sangat berkuasa. Apalagi didukung partai yang juga sangat berkuasa.