Saya naik tangga rumah adat yang di tengah. Itulah rumah Ompung di masa kecil. Rumah asli yang dipindah ke situ. Pindahnya tidak jauh: hanya bergeser 300 meter dari kampung asal Ompung.
BACA JUGA:Minus Dua
Rumah asli orang Batak terbuat dari kayu. Bagian kolongnya untuk kandang kerbau. Tidak ada kamar-kamar. Semua penghuni tidur di lantai. Juga tidak ada lemari atau meja.
Saya melongok ke kolong rumah Ompung. Ada kerbaunya. Patung kerbau. Actual size. Kerbau itu perlu dikenang karena unik: tanduk panjangnya justru melengkung ke bawah.
Lalu ada satu bangunan besar lagi: museum TB Silalahi. Khusus untuk benda-benda yang terkait dengan sejarah hidup Ompung. Termasuk yang dipajang di halaman museum: dua tank militer dan satu artileri anti pesawat udara.
Dua jenis museum itu lagi tutup. Saya pun menuju SMA Soposurung yang dibangun Ompung.
Dari Soposurung saya ke Institut Teknologi Del. Inilah lembaga pendidikan yang digagas dan didirikan oleh Ompung satunya: Jenderal Luhut Pandjaitan. Juga di pinggir Danau Toba.
Asyik sekali di kampus Del ini: serasa di Swiss. Danaunya, udaranya, penataan plaza dan taman-tamannya, amphitheatre-nya, dan kebersihannya.
BACA JUGA:Bani Wolbachia
Del –Devi Luhut– seluas 12 hektare tapi serasa tiga kali lipat luasnya.
Sampai di Del pun saya masih menyesali diri: mengapa lupa copot sepatu di makam tadi. Mungkin terbiasa melayat teman Tionghoa. Tidak ada yang perlu copot sepatu.
Robert ternyata copot sepatu. Saya lihat itu ketika Robert berlutut. Setelah saya meletakkan karangan bunga, memang ganti Robert Njoo menghadap Ompung. Ia berlutut. Menghormat lalu meletakkan bunga. Entah di mana sepatunya.
Ia tampak terisak. Itu membuat saya juga terisak. Ia menyesali diri tidak bisa memenuhi pesan terakhir Ompung: menangani jenazahnya.
Ketika Ompung meninggal 13 November lalu, ayah kandung Robert juga meninggal. Ia memang punya dua adik, tapi dua-duanya sedang di luar negeri.
BACA JUGA:Nobel Robin
Ompung seorang Kristen. Njoo Buddha. Saya Islam. Kami saling menyayang. (*)