Tambang Triliun

Senin 22 Dec 2025 - 09:05 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

Podcast Akbar Faisal dengan Ikhlas Bahrawi membuka tabir  kisruh di Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Cara Bahrawi membukanya sedikit-sedikit. Lebih banyak membuat penasaran.

Misalnya: ternyata Bahrawi pernah diminta Gus Yahya, ketua umum PBNU, untuk mempelajari proposal bisnis pengelolaan tambang batu bara milik NU.

Proposal itu datang dari perusahaan yang terafiliasi dengan Boy Tohir, pemilik PT Adaro --raja batu bara Indonesia. Anda sudah tahu Boy Tohir adalah kakak kandung Erick Tohir, menteri pemuda dan olahraga yang mantan menteri BUMN.

Anda juga sudah tahu: di zaman Presiden Jokowi, NU diberi tambang batu bara di Kaltim seluas 25.000 hektare. Isinya: sekitar satu miliar ton batu bara. Semuanya batu bara kelas satu di Indonesia: kalorinya di atas 6.000 --padahal mayoritas tambang di Indonesia hanya mengandung batubara dengan kalori 3.000 sampai 4.500. Kadar sulfurnya pun sangat rendah: sekitar 0,7. Kadar pencemar udaranya sangat minim. Pasar dunia rebutan batu bara kelas satu seperti itu. Harganya, Sabtu lalu, USD120/ton.

Biaya mengeruk batu baranya pun sangat murah. Batu bara NU itu ada di permukaan tanah. Beda dengan batu bara di Tiongkok yang berada di kedalaman sekitar 1.000 meter di bawah tanah. Untuk mengambilnya harus bikin terowongan bawah tanah.

Dari keterangan Bahrawi di podcast itu tersirat bahwa Jokowi pernah ”menitipkan” pesan agar NU menyerahkan pengelolaan tambangnya kelak ke perusahaan yang terafiliasi dengan Boy Tohir. Itu karena NU belum punya kemampuan sendiri untuk mengelola tambang batu bara.

Dengan gambaran seperti itu perusahaan tersebut merasa pasti akan diserahi untuk mengelola tambang milik NU. Bahkan sejak sebelum tambang itu sendiri resmi diberikan ke NU.

Buktinya, selama tahun 2024, sudah ada ”uang muka” yang yang mengalir ke PBNU. Lima kali transfer. Jumlah totalnya Rp40 miliar. Tentu uang itu resmi masuk ke PBNU. Artinya, Gus Yahya, sebagai ketua umum, tahu dan menyetujui penggunaannya.

Tapi di luar itu rupanya ada jenis uang lain yang juga masuk ke PBNU, tapi lewat perorangan. Tidak masuk ke kas PBNU. "Itu yang membuat Gus Yahya marah," ujar Bahrawi saat saya hubungi setelah menonton podcast tersebut.

Akhirnya perusahaan tersebut secara resmi mengajukan proposal bisnis ke PBNU. Saya tidak bisa menduga mengapa Gus Yahya meminta Bahrawi untuk mempelajari proposal bisnis tersebut. Padahal Gus Yahya pasti tahu bahwa keahlian utama Bahrawi adalah di bidang anti terorisme, anti radikalisme dan di gerakan pro-moderasi. Ia memang NU bahkan sejak sebelum lahir --ayahnya adalah santri ulama terkemuka di Bangkalan, Syaikhona Cholil, yang juga gurunya pendiri NU KH Hasyim Asy'ari-- tapi bukan pengurus NU di tingkat apa pun.

Setelah mempelajari proposal tersebut Bahrawi berkesimpulan: proposal itu sangat merugikan NU. Bahkan proposal tersebut ia sebut sebagai proposal yang zalim terhadap NU.

Misalnya, kata Bahrawi, semua biaya penambangan menjadi tanggung jawab NU. Setelah itu hasilnya 30 persen untuk NU, 70 persen untuk pengelola.

Melihat buruknya proposal bisnis tersebut Bahrawi sampai menyarankan agar Gus Yahya menghadap Presiden Prabowo. Gus Yahya pun akhirnya menemui Prabowo tapi Bahrawi tidak tahu hasil pembicaraan itu.

Apakah Gus Yahya akhirnya sependapat dengan Bahrawi? Bahwa proposal itu sangat merugikan NU? Apakah Gus Yahya lantas membuat putusan untuk tidak mau bekerja sama dengan perusahaan tersebut --meski PBNU sudah pernah menerima “uang muka”? Apakah berarti Gus Yahya berani menolak titipan lama Jokowi untuk menyerahkan pengelolaan tambang NU ke perusahaan tersebut?

Saya penasaran.

Kategori :

Terkait

Senin 22 Dec 2025 - 09:05 WIB

Tambang Triliun

Selasa 16 Dec 2025 - 09:55 WIB

Dua Satu

Sabtu 06 Dec 2025 - 09:12 WIB

Yalal Batubara