Saya ikut menitikkan air mata saat puisi seorang ayah ini dibaca. Inilah seorang ayah yang memiliki satu anak, seorang putri, yang kemarin ia nikahkan dengan seorang lelaki dari negeri nan jauh: orang Amerika kelahiran Nigeria.
Saya dua kali berlinang ketika menghadiri akad nikah adat Banggai di kota Luwuk kemarin pagi.
Pertama saat pengantin itu sungkem dengan gaya Banggai --yang mirip dengan adat mana pun di Indonesia.
Ayah putri itu, Adrin Sululing, tampak meneguhkan hati saat disungkemi, tapi jebol juga pertahanannya. Apalagi ibunda sang putri: sampai sesenggukan. Putri tunggalnya itu akan dibawa sang menantu menjauh dari Banggai.
Air mata kedua jatuh saat puisi sang ayah dibacakan. Yang membaca salah satu "anak binaan Adrin". Risal Panigoro. Ia seorang ustad muda dengan jenggot panjang yang lebat dari kelompok Wahdah Islamiyah yang berpusat di Makassar.
Rupanya sang ayah merasa tidak akan mampu membaca puisi bikinannya sendiri itu. Dari puisi itu terasa sang ayah sedang berjuang untuk belajar ikhlas. Yakni ikhlasnya seorang ayah yang sudah mengembara ke seluruh Indonesia, yang sudah berhasil ikhlas melepas duniawi, tapi terlihat belum bisa sepenuhnya merelakan kepergian sang putri.
Sang putri, Reski Sululing, ikut sesenggukan saat puisi sang ayah dibacakan.
Sang suami tentu tidak mengerti arti puisi itu. Tapi Ahmed Ipesa-Balogun, pengantin pria, berusaha meredakan gejolak jiwa istrinya:
Reski, anakku...
Namamu bisa diartikan sebagai anugerah terbaik dalam hidupku, peluruh haus seorang pengembara.
Setiap hari kau tumbuh sedikit lebih tinggi...
Sedikit lebih jauh...
Hati papa sudah mulai berat untuk belajar melepasmu pelan-pelan... seperti daun yang jatuh...lalu mengerti bahwa angin pun punya tugasnya...
Hari ini kau dipersunting, padahal papa baru akan mau belajar berjalan tanpamu...belajar merelakan saat kau memilih langkahmu sendiri...walau setiap langkahmu selalu membuat papa ingin ikut menjaga..
Reski...