Sahabat Baru

Rabu 01 Oct 2025 - 11:22 WIB
Reporter : Yogi
Editor : Yogi

Pabrik ini telah selesai dibangun. Ketika sudah siap-siap berproduksi pecahlah perang. Investasi yang begitu besar tidak bisa menghasilkan benzene. Selama perang Belal tidak bisa melihat pabriknya. Banyak onderdil yang dicuri orang. Termasuk kabel-kabelnya.

"Saya serasa ingin menangis melihat investasi sebesar ini mangkrak karena perang," kata saya sambil mengelus dada. Saya ingat nasib diri sendiri: melakukan investasi besar, begitu mau selesai, mangkrak dua tahun karena Covid.

"Tidak apa-apa. Saya kuat menghadapi musibah ini," ujar Belal.

Belal melihat dirinya masih tergolong beruntung. Ia masih bisa hidup. Masih sehat. Anak-anaknya tumbuh seperti yang ia inginkan. Belal masih pula bisa menyantuni semua anak yatim di kampung halamannya. Memberi makan mereka yang miskin. Di Syria kini terdapat 70.000 anak yatim. Belal banyak membantu biaya sekolah mereka.

Kini Syria sudah damai. Belal harus memperbaiki pabriknya. Mungkin diperlukan setengah triliun rupiah lagi untuk bisa sampai memproduksi benzene.

Saya kagum pada Belal. Usahanya tetap bisa berkembang di masa pemerintahan lama. Juga bisa bertahan di masa perang. Dan kini melaju cepat di masa damai setelah perang.

Dari pabrik benzene saya diajak ke pabrik alat-alat listrik. Tapi waktu sudah sore. Mobil berbelok ke arah lain. Kami belum sempat makan siang. Saya diajak makan siang di rumahnya.

Saya pun terperangah. Ini bukan rumah. Ini istana!

Luasnya hampir satu hektare. Pagar sekelilingnya adalah pohon tinggi berjajar rapat. Rindang. Indah. Teduh. Bebungaan di bawah pohonnya menambah keasriannya.

Bangunan rumah itu sendiri sangat besar. Tiga lantai. Di depannya ada kolam renang seukuran Olimpiade. Airnya jernih menggoda. Tergelar taman dan rumput di sekeliling kolam. Juga pohon-pohon hias. Di sebelah kolam masih terhampar halaman hijau. Rumputnya terawat rapi sekali. Banyak tanaman pohon kurma berjajar rapi.

Di sebelah kebun kurma itu ada lapangan bola mini. Rumputnya sintetis. Gawangnya berukuran setengah gawang normal. Saya bermain bola di situ --dengan bungsu Belal yang baru berumur 11 tahun.

Di pojok sebelah lapangan ada bangunan indah: dapur. Ada kompor listrik. Ada pemanggang listrik. Ada tungku tradisional yang untuk membuat roti Arab. Masih ada satu tungku tradisional lagi: yang bikin rotinya dengan cara menempelkan roti di dinding-dinding dalam tungku itu.

Hari kian sore. Pegawai rumah itu memasang meja makan di halaman rumput di sela-sela pohon kurma. Pegawai lain menggelar karpet di atas rumput dekat kolam renang. Kami pun berwudlu: siap-siap salat berjamaah di sela-sela pohon kurma. Itu sudah waktu ashar. Gus Najih dan saya sekalian salat gabungan jama' ta'khir duhur dan asar.

Selesai salat, makan siang belum siap. Meja masih kosong. Saya diajak Belal masuk gedung rumahnya. Bukan di bagian rumah tangganya, tapi diajak naik lift ke lantai tiga. Di lantai paling atas itu lagi dilakukan finishing. Keseluruhan rumah ini memang baru. Selesai dibangun tiga tahun lalu. Bahkan belum selesai sepenuhnya: lantai tiganya sedang diselesaikan bagian dalamnya.

Matahari kian petang. Makanan di meja pun tersaji. Luar biasa banyaknya –dan lezatnya. Anak sulung yang di Jerman ikut bergabung makan. "Ia baru saja tiba dari Jerman," ujar Belal memperkenalkan si sulung.

Makan siang pun dimulai ketika magrib tidak lama lagi tiba. Saat kami berpamitan Belal minta agar kami terus berhubungan sebagai sahabat.

Kategori :

Terkait

Sabtu 04 Oct 2025 - 13:36 WIB

Batu Danantara

Rabu 01 Oct 2025 - 11:22 WIB

Sahabat Baru

Selasa 12 Aug 2025 - 09:19 WIB

Tanpa Pilwali