Maka gembok pun digergaji. Umat kembali bisa sembahyang.
Muspida Tuban mengadakan rapat. Tidak boleh ada keributan apa pun. Nama besar kelenteng Tuban tidak boleh ternoda oleh pertikaian baru.
Soedomo sebenarnya sedang merintis menghidupkan kembali yayasan lama. Pengurusnya diperbarui. Akan dimunculkan generasi muda sebagai pengurus yayasan.
Tapi menghidupkan yayasan perlu waktu. Sudah telanjur ruwet. Bahkan yayasan sudah sempat non aktif dalam jangka waktu yang lama.
Selama yayasan non aktif, kelenteng ditangani lembaga baru. Bentuk lembaga itu: perkumpulan. Perkumpulan itulah yang tidak pernah bisa kumpul. Lalu bertengkar. Saling gembok kelenteng.
Soedomo cenderung tidak mau bentuk perkumpulan. Lebih baik menghidupkan kembali yayasan. Aturan di perkumpulan memang punya sisi kelemahan yang berat: satu orang satu suara. Mudah pecah. Mudah bertengkar.
Lebih baik yayasan. Apalagi ada pertimbangan lain: yayasan lama masih punya banyak uang. Lebih Rp 10 miliar. Belum lagi yang berbentuk emas dan tanah.
Uang tersebut beku di bank BCA. Sudah puluhan tahun. Bentuknya pun bukan deposito. Tidak berbunga. Bank tidak mau mencairkan dana tersebut sebelum yayasannya hidup kembali secara sah. Perkumpulan tidak akan bisa mencarikan dana itu.
"Sebenarnya pembenahan yayasan sudah hampir beres. Lalu keburu muncul ribut-ribut lagi ini," ujar Soedomo.
Bagaimana dengan ''masa jabatan'' pengurus sementara yang dianggap sudah habis?
"Sebenarnya ada klausul bisa diperpanjang. Asal semua pihak punya niat baik," katanya.
Saya pun menghubungi Pepeng dan Tjong Ping.
Kepada Pepeng saya bertanya: "Mengapa Anda tidak mau tampil sebagai pemimpin baru kelenteng Tuban? Anda kan bisa diterima semua pihak," kata saya.
"Saya ini Katolik," ujar Pepeng.
Tjong Ping tidak akan bisa mendapat persetujuan dari Kementerian Agama. Tjong Ping dianggap bagian dari pertengkaran.
Di Islam, bentuk yayasan juga sering menjadi persoalan. Banyak yang dianggap menjadi milik pribadi pengurusnya. Di Islam belakangan ada jalan keluar yang sangat baik: badan wakaf.